PERBEDAAN FILSAFAT NEWTON DAN LEBANIS TENTANG
MASALAH RUANG DAN WAKTU
Perseteruan
antara Newton dan Leibniz telah sering diceritakan di dalam banyak buku teks
maupun buku-buku ilmiah populer lainnya. Yang dibahas di dalamnya biasanya
adalah mengenai klaim penciptaan kalkulus. Sebuah perdebatan lain sering kali
lolos dari perhatian banyak orang, dan perdebatan inilah yang diangkat oleh
Cassirer di dalam sebuah tulisannya di dalam Jurnal The Philosophical
Review. Perdebatan ini adalah mengenai posisi epistemologis kedua raksasa
filsafat ini dalam melihat ilmu alam atau—di dalam bahasa yang dipakai di zaman
itu—filsafat alam.
Untuk melihat
perbedaan yang mendasar di antara kedua filsuf alam tersebut bukanlah sebuah
perkara yang mudah. Sentimen-sentimen yang menyertai perdebatan tersebut
mengaburkan esensi dari perdebatan itu sendiri. Surat menyurat yang terjadi di
tahun 1715 dan 1716 antara Leibniz dan Samuel Clarke yang membela Newton juga
tidak banyak membantu untuk melihat masalah ini lebih jelas. Bahkan
tuduhan-tuduhan yang saling dilontarkan satu sama lain malah melebar pada masalah
agama. Untuk itu kita perlu masuk ke dalam pemikiran kedua filsuf ini secara
mendasar supaya bisa memahami betul inti perdebatan mereka.
Newton dan
Leibniz secara sederhana bisa dilihat sebagai pengusung dua tradisi ilmiah yang
berbeda; Newton mengedepankan induksi sebagai pengusung empirisisme dan Leibniz
mengedepankan deduksi. Sebagai pengusung empirisisme, Newton mementingkan data
faktual sebagai sebuah realitas. Leibniz berangkat dari hal yang berbeda dengan
mengandalkan rasio, yang menurutnya dapat menjelaskan seluruh realitas tetapi
mengotakkan Newton dan Leibniz menjadi pengusung cara berpikir induktif atau
deduktif bisa jadi juga kurang tepat, mengingat induksi dan deduksi bisa
dipakai secara longgar. Cara berpikir induktif Newton tidaklah sama dengan
Francis Bacon atau John Stuart Mill. Induksi Newton bisa ditelurusi dari metode
induksi Galileo ketimbang melalui Bacon. Bacon sendiri melalui metode
induksinya mencita-citakan sebuah “rasionalisasi” dari seluruh data-data
empiris, sehingga ditemukan “forma murni” dari seluruh fenomena yang
berubah-ubah dan banyak. Ini bukanlah cara yang ditempuh Galileo dan Newton.
Metode Bacon adalah ektensifikasi dan amplifikasi dengan mengumpulkan data
empiris sebanyak-banyaknya. Newton tidak tertarik dengan ini. Ia tidak ingin
mencari “forma murni” dari gravitasi misalnya. Ia sekedar ingin mereduksi
fenomena alam menjadi hukum-hukum alam dan menurunkan hukum-hukum alam ini
secara matematis. Metodenya adalah intensifikasi dan simplifikasi. Dengan
metode ini proses akumulasi dan komparasi induksi Baconian diubah menjadi
sebuah proses analitis. Cara ini oleh Newton dinamakan induksi analitis. Tanpa
proses analitis tersebut, tidak akan dapat dihasilkan buah dari semua data
empiris tersebut, yaitu sebuah hukum alam yang menggambarkan gejala yang dapat
dinyatakan secara matematis.
Dengan induksi
analitis ini, pengumpulan data empiris bukanlah tujuan utama. Interpretasi dari
data-data yang sudah ada menjadi lebih penting. Hukum gravitasi umum telah lama
didiskusikan sebelum terbitnya Principia Newton. Bahkan rumusan
matematis hukum gravitasi umum Newton pun bukan barang baru; Christopher Wren,
Robert Hooke, dan Edmond Halley telah mengembangkan teori daya tarik yang
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Sumbangan Newton bukanlah di situ,
melainkan memberikan sebuah kerangka berpikir yang sungguh baru, yang kemudian
bisa dijadikan landasan pijakan yang kuat bagi para penerusnya.
Leibniz di
lain pihak memulai dari titik lain. Jika Newton mulai dengan menganalisis fenomena
alam, Leibniz memulai dengan analisis logika. Sebagaimana yang dikatakan
Leibniz:
“Jika seseorang ingin membuat bangunan
di tanah berpasir, ia harus terus menggali sampai menemukan dasar kokoh
berbatu, seperti orang yang ingin mengurai benang kusut harus menemukan
awalnya, dan seperti Archimedes yang membutuhkan tumpuan diam untuk memindahkan
dunia—jadi yang kita butuhkan adalah sebuah titik tetap sebagai fondasi di mana
kita bisa mendirikan pengetahuan manusia. Dan titik awal ini adalah analisis
dari macam-macam kebenaran.”
Ini bukan
berarti Leibniz tidak mengakui nilai dari kebenaran empiris. Kebenaran empiris
baginya hanyalah sebuah bagian kecil dari seluruh semesta kebenaran. Adalah
tugas para filsuf untuk bisa menemukan kebenaran sejati di belakang kebenaran
fenomenal. Di dalam ilmu fisika kita menemukan kebenaran faktual, di dalam
logika, aritmatika dan geometri kita menemukan kebenaran abadi.
Kebenaran
faktual tidak terpisah dari kebenaran logika dan matematika, atau bertentangan
dengannya. Masing-masing dunia memiliki hukum-hukumnya masing-masing. Di dalam
suratnya kepada Clarke, Leibniz menunjukkan:
Fondasi agung dari matematika adalah
prinsip kontradiksi atau identitas, yaitu sebuah proposisi tidak mungkin benar
dan salah pada saat yang sama; dan oleh karena itu ia adalah yang itu dan tidak
bisa yang lain. Prinsip ini cukup untuk mendemonstrasikan setiap bagian dari
aritmatika dan geometri, yang merupakan seluruh dari prinsip-prinsip
matematika. Tetapi untuk meneruskan dari matematika ke filsafat alam, sebuah
prinsip yang lain diperlukan … prinsip kecukupan sebab (sufficient reason),
bahwa tak satu pun yang terjadi tanpa sebab sehingga ia harus terjadi demikian
ketimbang yang lain.
Leibniz
mengatakan bahwa kebenaran logika dan matematika adalah niscaya, sedangkan
kebenaran faktual adalah kontingen. Ia kemudian meneruskan bahwa perbedaan
antara kebenaran yang niscaya dan kontingen ini hanya memiliki nilai relatif,
bukan absolut. Keduanya memang tidak berada pada domain yang sama. Keduanya
tidak dapat dibandingkan. Meskipun demikian ini tidak berarti mereka tidak
memiliki hubungan. Leibniz memberikan contoh dengan bilangan irasional. Sebuah
bilangan irasional tidak ditemukan di dalam pengukuran faktual, melainkan hanya
ditemukan dalam konsep matematika. Namun bilangan irasional tetap dapat
didekati dengan deret tak hingga bilangan rasional sehingga keduanya tetap
berhubungan.
Leibniz
mengakui bahwa di dalam banyak bidang kita hanya bisa mendapatkan kebenaran
faktual. Yang bisa kita lakukan adalah mengumpulkan fakta tanpa bisa mendeduksi
fakta dari prinsip-prinsip rasio yang lebih tinggi. Namun ini hanyalah langkah
pertama. Seorang ilmuwan atau filsuf tidak akan pernah puas dengan hasil
seperti ini. Mereka tidak hanya sekedar mengumpulkan fakta, melainkan mau
mencoba mengerti fenomena alam. Kebenaran rasional inilah yang menjadi batas
dari ilmu pengetahuan. Kita mungkin tidak akan pernah tahu penyebab dari segala
sesuatu, tetapi kita tidak boleh berputus asa untuk terus mencari dan
membuktikan penyebab-penyebab tersebut. Semuanya ini bisa dirangkum dalam
sebuah kalimat
“Semua kebenaran empiris dapat
digambarkan dalam kebenaran rasional dan dapat direduksi ke dalam bentuk
kebenaran rasional.”
Dengan kalimat ini, sesungguhnya
Leibniz-lah seorang rasionalis par excellence, melebihi
rasionalis-rasionalis lainnya. Ia meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah proses
pencarian kebenaran ini, bukan sekedar pengumpulan fakta, tetapi sebuah proses
mengerucut yang semakin mendekati kebenaran. Seluruh kebenaran empiris bisa
direduksi menjadi prinsip-prinsip umum yang universal. Ia bahkan melampaui
batas-batas ilmu alam, dengan juga menerapkan prinsip-prinsip universal ini
pada ranah lain yaitu masalah politik, sosial dan religius.
Ambisi Leibniz
memang terlihat begitu besar, sebesar kepercayaannya pada rasio manusia yang
bisa mengerti semua hal. Ia mendambakan sebuah Scientia Generalis yang
membuat semua fenomena terjelaskan. Newton tidak seambisius itu. Bagi Newton,
dunia sekedar dapat dimasuki, tetapi tidak dapat dipahami oleh rasio manusia.
Sains mungkin bisa memimpin kita sampai jauh, tetapi tidak mampu melihat sampai
pada kedalaman “lautan kebenaran.”
Meskipun cara
mereka melihat kebenaran begitu berbeda, mereka berdua memakai matematika.
Keduanya meletakkan fondasi matematika yang sangat kokoh sampai saat ini, yaitu
matematika nilai variasi, atau matematika perubahan, yang kita kenal sekarang
dengan istilah kalkulus. Namun mereka berdua melihat matematika secara berbeda.
Bagi Leibniz, matematika adalah salah satu dari aplikasi umum prinsip-prinsip
logikanya. Kalkulus ciptaannya adalah pengejawantahan logika dalam bentuk
simbolisme matematika. Simbol-simbol ini, dengan kejelasan dan
kesederhanaannya, terbukti lebih superior dibandingkan dengan metode fluxion
ciptaan Newton.
Newton
memperlakukan matematika secara berbeda. Ia melampaui tradisi matematika para
pendahulunya. Sejak Plato, matematika dipakai sebagai penggambaran kebenaran
yang abadi—yang tidak berubah. Matematika tidak berubah menurut keadaan,
seperti yang terjadi pada fenomena, oleh karena itulah, matematika dilihat
sebagai kebenaran yang sempurna. Newton justru melakukan hal yang sebaliknya. Newton
menggunakan matematika untuk menggambarkan perubahan. Matematika yang ia
kembangkan digunakan untuk menggambarkan gerak. Ia bahkan mereduksi seluruh
fenomena alam menjadi gerak. Gerak tidak lagi menjadi sekedar fenomena,
melainkan konsep dari alam itu sendiri, sebagai sebuah kategori matematis. Bagi
Newton, matematika baru ini bukanlah sekedar ada di dalam pikiran manusia,
melainkan realitas itu sendiri.
Leibniz juga
menempatkan matematika di posisi yang tinggi. Namun ia melihat matematika
sebagi subordinat dari logika. Ia adalah seorang Platonis sejati dan pembela
tradisi Yunani klasik yang ketat secara logika deduktif. Kalkulus ciptaannya
bukanlah dibangun dari fenomena alam, seperti halnya Newton, melainkan konsep
yang diturunkan dari logika.
Perbedaan yang
mendasar dari Newton dan Leibniz juga terlihat dari bagaimana mereka memandang ruang
dan waktu. Bagi Newton, ruang dan waktu bukan hanya realitas, melainkan adalah
juga kerangka dari realitas itu sendiri. Bahkan Newton sebagai seorang yang
religius menyebutkan bahwa ruang dan waktu bukan hanya realitas material biasa
melainkan atribut absolut dari Allah sendiri. Mereka adalah forma dan tatanan,
bukan benda. Leibniz sebagai seorang ahli logika melihatnya secara berbeda. Ruang
dan waktu baginya tidak memiliki eksistensi secara metafisis. Ruang adalah
keadaan di mana benda terletak, dan waktu adalah keadaan menurut urutan posisi
kejadian. Untuk melihat ruang, kita cukup melihat posisi relatif antara
benda-benda, tanpa perlu menciptakan sebuah realitas tersendiri. Begitu pula
dengan waktu, ia adalah sekedar urutan kejadian, yang tidak perlu dijadikan
sebuah eksistensi terpisah.
Salah satu
sanggahan Leibniz adalah seperti ini: jika ada dua benda bergerak sejajar satu
sama lain dengan kecepatan yang sama sehingga posisi keduanya tidak berubah,
bagaimana kita bisa tahu mereka bergerak terhadap ruang atau tidak. Bagaimana
kita bisa tahu kedua benda tersebut diam atau bergerak, mengingat posisi
relatif keduanya adalah sama. Dalam kata-katanya sendiri Leibniz menjelaskan :
Aku meyakini bahwa ruang
dan waktu adalah sesuatu yang murni relatif. Ruang adalah sebuah tatanan koeksistensi
dan waktu adalah tatanan suksesi. Ruang menyatakan kemungkinan tatanan
benda-benda, sejauh mereka ada bersama-sama, di dalam waktu yang sama,
bagaimanapun cara mereka berada. Di manapun kita melihat banyak hal berbeda,
kita sadar akan tatanan di antara mereka.
Menjadi
semakin jelas bahwa perbedaan mereka adalah Newton melihat kebenaran sebagai
apa yang ada di alam—in rerum natura—sedangkan Leibniz melihat bahwa
apa yang benar adalah apa yang logis. Bahkan matematika menurut Newton adalah
sebuah kebenaran karena ia dapat ditemukan dalam alam.
Meskipun
berbeda, mereka berdua menolak sensasionalisme. Keduanya sepakat bahwa fakta
empiris saja tidak mencukupi. Dengan demikian mereka berbeda dengan tradisi
empirisisme Inggris, yang mengatakan bahwa semuanya itu hanyalah persepsi
semata. Bagi Newton ruang dan waktu adalah realitas ultima yang substansial,
dan bagi Leibniz, ruang dan waktu adalah asumsi yang niscaya, yang memungkinkan
realitas yang lain untuk dipahami.
Sejarah
kemudian membuktikan bahwa batu pijakan yang didirikan oleh Newton-lah yang
membuat revolusi di dalam ilmu alam. Dengan mereduksi seluruh fenomena alam
menjadi gerak yang dapat dinyatakan secara matematis, seluruh fenomena alam
dapat dipotong-potong dan dianalisis geraknya saja. Ini menghindarkan mereka
dari debat deduktif yang melelahkan tentang esensi dari realitas itu sendiri.
Metode Leibniz, walaupun terbukti tangguh secara logika matematis, lebih sukar
untuk dijadikan pijakan. Waktu dan ruang yang relatif terbukti lebih sulit
untuk dipahami, apalagi dirumuskan secara matematis. Sejarah membutuhkan
beberapa abad kemudian ketika Einstein mengemukakan teori relativitas dan mampu
mengemukannya secara matematis.
Perkembangan
fisika modern memang menunjukkan seolah-olah mereka kembali kepada pemikiran
Leibniz. Teori relativitas menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidaklah absolut.
Model Standar yang sekarang dipakai juga terlihat semakin matematis, sehingga
dengan demikian adalah logika. Beberapa postulat di dalamnya belum memiliki pijakan
pengamatan empiris. Logika terlihat mendahului data faktual. Begitu pula dengan
cita-cita adanya sebuah Grand Unified Theory yang menyatukan semua
teori-teori fisika. Ini terlihat seperti cita-cita Scientia Generalis-nya
Leibniz.
Namun ini
tidak berarti fisika Newtonian telah diruntuhkan. Ia lebih merupakan sebuah
konstruksi baru sains. Fisika Newton tetap menjadi dasar pijakan yang
memungkinkan fisika berkembang, sehingga pada suatu titik dimungkinkan sebuah
loncatan kepada sebuah fisika baru. Sentimen-sentimen Inggris vs. Jerman telah
membuat kemungkinan konstruksi lebih awal gagal terjadi. Begitu pula dengan
dogmatisme ajaran-ajaran Newton yang tidak disikapi dengan kritis, yang telah
menghambat pertumbuhan sains.
Menarik untuk
dilihat bahwa walaupun Newton dan Leibniz berbeda secara epistemologis,
keduanya mampu disatukan dalam fisika modern. Posisi Newton lebih mewakili
posisi saintis, dan posisi Leibniz lebih mewakili posisi para filsuf.
Perbenturan keduanya terlihat seperti perbenturan antara fisika dan filsafat.
Yang satu mementingkan data empiris dan yang lainnya keketatan logika.
Perbedaan ini terbukti lebih konstruktif ketimbang destruktif. Justru karena
perbedaan-perbedaan itulah sains menjadi berkembang.
Daftar Pustaka
Casirrer, Ernst. Newton and Leibniz. The Philosophical
Review, Vol. 52, No.4, Juli, 1943.
Hawton, Hector. Philosophy for Pleasure. Premiere
Books. New York, 1956.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar