SALAM L??
|
Bermula dari melihat salah satu foto
(diantaranya foto diatas) jadi tangan ini pengenn nulis ginian,, hehe.. mudah-mudahan
yang ginian ini bisa manfaat dan nambah wawasan kita yeee?.. Aaminn
BTW… Tak sedikit alias banyak foto
saya baik lagi sendiri maupun berfoto dengan dan teman-teman menggunakan salam
jari berbentuk L.
Jangan khawatir salam L ini bukan
salam jargon politik
*kecuali 2024 sudah ada yg teken
kontrak saya ya bisa jadi ye!* buahahaha
Salam jari berbentuk L adalah arti
salam literasi, bukan sebagai salah satu dukungan ke salah satu pihak politik
ya?.. Catet !!
Salah satu keragaman etnik dan budaya Indonesia ialah bahasa dan sastra. Keragaman bahasa dan sastra menjadi kekayaan yang tidak ternilai harganya. Data Badan Pusat Statistik (2010), terdapat 1.340 suku bangsa dengan 1.211 bahasa (sumber:kompas 4 april 2017). Bertolak dari keragaman itu, Bangsa Indonesia menjadi lebih paham akan arti persatuan. Meskipun beragam latar bahasanya, Bangsa Indonesia terhubung melalui bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. (jadi selintas keingetan isi sumpah pemudaaa..),, hehehehe
Pada konteks yang berbeda, kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemampuan setiap warganya dalam hal literasi. Dalam pengertian sederhana literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berfikir disertai membaca, menulis, dan menghasilkan karya kreatif.
Pemerintah menggerakkan budaya literasi bukan tanpa alasan, ratarata penduduk Indonesia hanya membaca kurang dari 4 judul buku setahun dan masih jauh dari standar yang ditetapkan yaitu 7 judul buku. Peringkat indeks membaca Indonesia juga masih sangat rendah, berada di peringkat 60 dari 65 negara (sumber UNESCO)..
Indonesia memiliki sejarah bagus dalam budaya literasi. Dalam catatan Taufiq Ismail, pada zaman Hindia Belanda sastra diajarkan di sekolah setara dengan negara-negara di Eropa dan Amerika. Selama tiga tahun belajar, tiap murid AMS (setara SMA) wajib membaca 25 judul buku sastra. Jumlah itu tidak lebih buruk dengan di Belanda, siswanya diwajibkan membaca 30 judul buku sastra, Amerika 30 buku, dan Jepang 15 buku. Selain itu, tiap minggu para siswa diwajibkan menulis artikel. Hasilnya, lahir satu lapisan generasi yang luar biasa. Mereka adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Natsir, Safruddin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, Soemitro Djojohadikusumo, Adam Malik, dan seterusnya.
Lantas, sekarang berapa buku yang dibaca anak-anak kita pertahunnya? Sekalipun misalnya ada, mereka sebatas membaca buku ringkasan pelajaran, ringkasan soal-soal dan kunci jawaban (inipun pas menjelang ujian.. bener kan??hueeeeeeeheueheheehe) sejauh yang saya temui rasanya sangat sedikit sekali buku yang anak-anak kita baca, apalagi buku yang berisi sastra, jangan ditanyaaa berapa judul yang pernah dibaca.. hehehehe
Demikian juga soal mengarang. Umumnya, siswa hanya diwajibkan membuat satu karangan saat ujian kenaikan kelas. Bahkan ketika bentuk ujian hanya pilihan ganda, maka tidak ada lagi mengarang. Hilangnya budaya mengarang berarti hilang pula sisi literasi kreatif. Seseorang cakap mengarang karena banyak membaca. Semakin banyak yang dibaca, semakin baik karangan yang dihasilkannya.
Budaya membaca, menulis, dan menghasilkan karya literasi kreatif perlu ditumbuhkan. Cara-cara sederhana dapat dilakukan. Misalnya, kebiasaan memberi hadiah berupa buku, berkunjung ke toko buku. Juga menyisihkan sedikit pengeluaran untuk membeli buku, mendirikan komunitas membaca di masyarakat, terbiasa berkunjung ke perpustakaan dan taman bacaan. Dan yang tidak kalah pentingnya keteladanan para pemimpin, orangtua, dan mereka yang dituakan untuk membaca, menulis, dan menghasilkan karya literasi kreatif. Jangan berharap guru mampu menggerakkan anak didiknya membaca, menulis, dan menghasilkan karya literasi kreatif jika tidak menghasilkan satupun karya literasi kreatif.
Di lingkungan sekolah, gerakan membaca buku lima belas menit sebelum pelajaran dimulai perlu dilanjutkan dan diintensifkan. Sudut-sudut baca, papan-papan majalah dinding perlu dihidupkan lagi. Majalah atau buletin sekolah, dari anak didik untuk anak didik, perlu difasilitasi sekolah. Dengan demikian, sekolah juga harus menyelenggarakan kegiatan ekstra kurikuler jurnalistik.
Dalam upaya memasyaratkan budaya literasi, cara
paling sederhana dan sangat mudah, dengan membommingkan Salam
L. Acungkan tangan kanan kedepan, tekuk jari kelingking, jari manis, dan jari
tengah. Biarkan ibu jari dan jari telunjuk dalam posisi terbuka dan usahakan
bentuknya menyerupai huruf L (seperti salam kami didalam foto diatas ya) Itulah
salam literasi.
Sumber utama :
http://www.komunikasipraktis.com/2017/04/pengertian-literasi-secara-bahasa-istilah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar